FEM Indonesia. Jakarta — Gelombang aksi masyarakat yang berlangsung dalam beberapa hari terakhir mencapai puncaknya lewat Aksi Musikal 19 November 2025, sebuah gerakan kolaboratif yang digelar tepat di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta.
Panggung musik, orasi, dan seni itu mempertemukan para sutradara, musisi, aktor lintas generasi, ulama muda, hingga figur publik yang dikenal vokal menyuarakan isu keadilan.
Pemilihan lokasi di depan gedung antikorupsi tersebut bukan tanpa alasan. Sutradara Anggy Umbara, salah satu penggagas acara, menyatakan bahwa aksi ini adalah penanda darurat moral bangsa.
“Generasi koruptor melahirkan generasi pembully,” tegas Anggy, menyoroti bagaimana perilaku elite berimbas langsung pada karakter generasi muda. Aksi ini, menurutnya, adalah pengingat bahwa pemberantasan korupsi bukan sekadar persoalan politik, tetapi fondasi moral yang menentukan arah masa depan Indonesia.
Kolaborasi Seniman, Aktor, Ulama, hingga Tokoh Publik
Aksi Musikal 19 November dipimpin sejumlah nama lintas profesi dan generasi, Sutradara Anggy Umbara, Musisi Sukatani serta Armia and The Shadows, Aktor Chicco Jerikho dan Sinyo, Ustadz muda Cholidi dan Jonathan Latumahina, ayah dari David Ozora
Kehadiran Jonathan menjadi perhatian khusus, mengingat kiprahnya dalam memperjuangkan keadilan bagi anaknya sejak kasus penganiayaan yang memicu solidaritas publik pada 2023.
Penampilan “Gelap Gempita” Jadi Momen Paling Menggetarkan
Salah satu momen paling emosional terjadi saat musisi Sukatani membawakan lagu “Gelap Gempita”. Dengan aransemen intens dan lirik penuh lapisan makna, penampilan itu berubah menjadi semacam mantra kolektif yang memanggil kembali luka, kemarahan, sekaligus harapan publik.
Suasana hening menyelimuti massa, sebelum akhirnya ledakan tepuk tangan dan teriakan solidaritas menggema ketika lagu mencapai klimaks. Bagi banyak peserta, momen ini membuktikan bahwa seni masih menjadi medium perlawanan yang kuat setara tajamnya dengan orasi.
Orasi Chicco Jerikho: “Kebenaran Tidak Bisa Dibungkam”
Aktor Chicco Jerikho ikut menyuarakan pesan lantang tentang keberanian warga untuk bersuara: “Kebenaran tidak bisa dibungkam,” ujarnya, disambut gegap gempita ratusan peserta aksi.
Sementara itu, Jonathan Latumahina mengingatkan bahwa gagasan people power bukan jargon kosong. Menurutnya, rakyat berkuasa adalah potensi nyata yang bisa muncul kapan saja ketika masyarakat berdiri bersama dan menolak dibungkam secara damai.
Sorotan Kembali Mengarah ke Kasus Ozora
Aksi ini juga secara tidak langsung membuka kembali perhatian terhadap kasus David Ozora. Momentum publik yang kembali menguat bertepatan dengan rilis film adaptasi kasus Ozora, yang akan tayang serentak di seluruh bioskop Indonesia pada 4 Desember 2025.
Film tersebut disebutkan mengadaptasi 90% kejadian nyata, sehingga diharapkan memberi representasi autentik mengenai apa yang sebenarnya terjadi dalam kasus yang sempat mengguncang jagat maya pada 2023.
Ruang Ekspresi Publik Tidak Bisa Dipersempit
Aksi Musikal 19 November menjadi bukti bahwa ruang berekspresi masyarakat tidak dapat dikecilkan begitu saja. Saat seniman, ulama, dan publik bergerak dalam satu frekuensi, pesan yang muncul bukan hanya soal solidaritas—tetapi tentang kesadaran kolektif bahwa suara rakyat tidak dapat dinegosiasikan.
Energi yang tercipta hari ini menunjukkan gelombang partisipasi publik yang semakin naik, sekaligus hadir sebagai penanda bahwa keberanian berbicara kini telah menjadi bagian dari identitas baru masyarakat Indonesia.


Tinggalkan Balasan