FEM DEPOK — Pagi di Kota Depok datang dengan lembut, seperti membuka tirai hari yang istimewa. Langitnya biru muda, sedikit berawan, sementara matahari menembus sela dedaunan di halaman kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Depok, Selasa (28/10/2025).

Bendera merah putih sudah berkibar di tiang, sedikit berayun terkena hembusan angin yang ringan. Di halaman kecil itu, beberapa wartawan sibuk menata meja, kursi, dan tak ada pengeras suara. Tak ada seremoni besar. Tak ada panggung megah.

Tapi pagi itu, ada yang lebih berharga: sebuah perayaan kecil tentang makna kata dan semangat muda.

Pagi yang Dipenuhi Kata

Sekitar pukul sembilan, halaman kantor PWI sudah ramai. Anak-anak berseragam putih abu, biru, dan merah berdatangan ditemani orang tuanya masing-masing.

Beberapa wajah anak-anak itu tampak ceria, sebagian memeluk map berisi kertas puisi dengan rapi. Di antara mereka, terdengar tawa gugup, percakapan kecil, dan sesekali suara ponsel dari orang tua yang ingin mengabadikan momen.


Dari arah dalam, muncul sosok Rusdy Nurdiansyah, Ketua PWI Kota Depok. Ia mengenakan kemeja cokelat muda, bertopi hitam, wajahnya teduh, langkahnya tenang.

Begitu berdiri di depan para tamu, ia menyapu pandang ke seluruh peserta. “Selamat pagi, anak-anak hebat Depok!” katanya lantang.

“Pagi ini bukan sekadar lomba. Ini adalah cara kita memperingati sumpah yang dulu diucapkan dengan darah dan air mata: Sumpah Pemuda. Tapi hari ini, kita memperbaruinya dengan tinta dan kata. Menulislah dengan puitis,” ucap Rusdy.

Tepuk tangan pun terdengar, pelan namun menggema. Beberapa peserta tersenyum, sebagian lainnya tampak menunduk, menyiapkan diri untuk sesuatu yang mungkin jadi kenangan seumur hidup.

*Menulis di Antara Bising Dunia Digital*

Di masa ketika unggahan di media sosial sering lebih cepat dari pikiran, lomba menulis puisi terasa seperti langkah mundur.Tapi justru di situlah nilainya. Pagi itu, di ruang sederhana PWI, langkah mundur itu menjadi langkah maju yang berarti.

“Menulis adalah cara kita menata hati,” ujar salah satu juri, seorang wartawan senior yang juga penyair, Adie Rakasiwi.

“Kata-kata adalah napas bangsa. Kalau anak-anak muda tak lagi menulis, siapa yang nanti menjaga nurani bahasa kita?” tanya Adie.

Satu kalimat, merinding! Saat karya-karya mulai dibacakan para juara I, II, III dan IV. Ruangan itu seperti menjadi taman kecil tempat kata tumbuh kembali.

Ada yang gugup, ada yang berani. Ada yang terbata, ada yang lantang. Tapi semuanya jujur. Tak ada kalimat yang dibuat untuk pamer, semuanya datang dari dalam diri.

*Empat Suara, Empat Cahaya*

Dari puluhan karya yang masuk, juri akhirnya memilih empat pemenang terbaik. Empat nama yang pagi itu berdiri dengan pipi memerah, menatap ruangan dengan mata berkilat bukan karena lampu, tapi karena cahaya rasa bangga. Mereka datang dari jenjang berbeda: SD, SMP, hingga SMA di Depok.

Tapi pagi itu, mereka setara sama-sama anak bangsa yang berbicara dengan bahasa hati.

Dan, ada 4 pelajar yang menjadi juaranya, berhak mendapat hadiah:

Juara I mendapatkan hadiah uang Rp 1 juta plus Piagam Penghargaan dan voucher Optik Sejahtera. Doctor Consultation

Juara II mendapatkan hadiah uang Rp 750 ribu plus Piagam Penghargaan dan voucher Optik Sejahtera.

Juara III dan IV mendapatkan hadiah uang Rp 250 ribu plus Piagam Penghargaan dan voucher Optik Sejahtera.

*Juara I: Syesa Agni Fatin, SMA Arrahman Depok*

Judul: “Cahaya di Pelupuk Nusantara

”Puisi Syesa tak berteriak. Dia menulis dengan tenang, seperti seseorang yang sudah lama mengenal arti “berprestasi”.

Salah satu penggalannya, ketika dia bacakan membuat ruangan terdiam:

“Kami terjaga di ujung pagi. Menatap mentari di langit suci. Merajut mimpi di bentang sadar. Bahwa berprestasi ialah wujud merdeka sejati.”

Dan di baris lain ia menulis lembut:

“Tinta ilmu kami goreskan. Di lembar waktu, di nadi peradaban. Untuk Indonesia, tanah bahagia.”

Syesa menerima piagamnya sambil menunduk. Di balik jilbab putihnya, senyum kecil muncul, penuh kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan.

Tapi pagi itu, dia membuat semua orang bangga.

*Juara II: Naurah Nabihah, SMA PGRI Depok*

Judul: “Lentera Bangsa”Posyandu Depok Info

Jika puisi Syesa adalah cahaya yang lembut, karya Naurah adalah api kecil yang menyala.

Dia menulis dengan keberanian, menyentuh isu yang jarang disentuh remaja: ketertarikan pemuda pada layar yang menelan semangat.

“Apakah pemuda yang meringkuk dalam sangkar tak berbesi, atau tersuntuk dalam buaian layar?” Kalimat itu mengguncang. Juri bahkan menyebutnya sebagai “teguran halus untuk generasi sendiri.”

Naurah menutup puisinya dengan pesan yang penuh daya:

“Kita adalah tangan yang mengukir alur masa. Kita adalah lentera bangsa.”

Ketika namanya diumumkan juara, tepuk tangan paling panjang menggema. Mungkin bukan karena puisinya paling indah, tapi karena kata-katanya terasa paling jujur.

*Juara III: Khanza Nayla Oktaviany, SDN Depok Jaya 1*

Judul: “Anak Bangsa”

Masih berseragam putih merah, Khanza berdiri dengan tubuh mungil tapi mata yang penuh keyakinan. Puisinya sederhana seperti suaranya yang kecil, tapi tegas:

“Wahai anak bangsa, negeri ini butuh kita. Bangkitlah dengan semangatmu yang membara.”

Dia menulis tentang kerja keras, tentang harapan kecil yang bisa mengubah dunia.

Ketika ditanya bagaimana ia menulisnya, Khanza menjawab polos, “Aku nulis malam-malam, habis belajar, soalnya aku mau ikut lomba kayak kakakku dulu.”

Dan pagi itu, dia berhasil membuktikan, bahwa semangat tak mengenal usia.

*Juara IV: Elok Permataputri , SMPN 32 Depok*

Judul: “Bangkit Generasi Muda Indonesia”

Puisi Elok adalah gema Sumpah Pemuda itu sendiri. Dia menulis:

“Bertanah air satu, tanah air Indonesia. Berbangsa satu, bangsa Indonesia. Berbahasa satu, bahasa Indonesia.

”Sebuah kalimat klasik, tapi ketika keluar dari mulut remaja berusia 14 tahun, dia terasa seperti sumpah yang baru saja diperbarui.

Elok menutup puisinya dengan kalimat ajakan sederhana tapi kuat:

“Bangkit Generasi muda Indonesia!”

*Kantor Wartawan, Ruang Sastra yang Tak Terduga*

Kantor PWI Kota Depok pagi itu seperti berubah wujud. Ruang rapat yang biasanya dipenuhi kertas berita dan foto liputan, kini dipenuhi puisi dan tawa anak-anak.

Buku tamu yang biasanya diisi oleh pejabat atau narasumber kini diisi oleh nama-nama siswa dengan tulisan miring dan goresan tinta biru.

Rusdy berdiri di tengah ruangan, menatap satu per satu peserta yang masih sibuk berfoto. “Saya melihat masa depan di mata mereka,” ucapnya pelan.

Mereka adalah saksi bahwa semangat Sumpah Pemuda tak padam, hanya berganti medium.

Dan memang, di era digital seperti sekarang, semangat itu menemukan bentuknya sendiri. Bukan lagi lewat rapat dan pidato, tapi lewat kata-kata yang ditulis dengan hati di halaman kertas.

Sekitar pukul sebelas, acara berakhir. Bendera di halaman kantor masih berkibar, langit semakin cerah, dan suara anak-anak yang berpamitan mengisi udara dengan riang.

Tapi di balik semua keceriaan itu, ada sesuatu yang terasa lembut di dada, semacam rasa haru yang tak bisa dijelaskan.

Seorang wartawan senior yang ikut menjadi juri, Musa Sanjaya menulis di buku catatannya: “Sumpah Pemuda hari ini tak diucapkan di podium, tapi di antara bait-bait yang lahir dari pena anak bangsa.”

Dan mungkin ia benar. Karena pagi itu, di kantor wartawan kecil di Kota Depok, Sumpah Pemuda tidak diperingati, ia dihidupkan kembali. Menutup Hari dengan HarapanSebelum peserta pulang, Rusdy menutup acara dengan kalimat yang terasa lebih seperti pesan seorang ayah:

“Jaga kata-kata kalian. Sebab dari kata, lahir kejujuran.Dari kejujuran, lahir keyakinan. Dan dari keyakinan, lahir bangsa yang kuat.”

Anak-anak bertepuk tangan, beberapa tersipu malu, tapi semua paham bahwa pagi itu mereka menyaksikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar lomba. Sebuah pengalaman kecil yang mungkin akan mereka ingat bertahun-tahun kemudian, ketika hidup sudah membawa mereka jauh.

Peringatan Hari Sumpah Pemuda digelar dengan sederhana. Namun, itu indah untuk dikenang!. (***)