FEM Indonesia – Untuk mendukung karya anak bangsa di kancah perfilman internasional, Lembaga Sensor Film Republik Indonesia mengadakan nonton bareng film Women From Rote Island di beberapa bioskop Jakarta. Bukan tanpa alasan, film besutan Jeremias Nyangoen ini menjadi nominasi Piala Oscar 2025.
Menurut Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia, Naswardi pihaknya mengadakan nonton bareng film Women From Rote Island sebagai dukungan untuk mempromosikan karya anak bangsa di mata dunia dalam bentuk nonton bareng, terlebih masuk nominasi Piala Oscar.
“Kalau proses pengiriman film, ini kan Komite Film Indonesia yang punya kewenangan dan tugas. Dasarnya memang memenangkan Piala Terbaik pada Festival Film Indonesia 2023,” ujarnya beralasan mensupport di sela Nobar Film Indonesia Bersama LSF, Memajukan Budaya Menonton Sesuai Usia, Women From Rote Island di FX Jakarta, Selasa (3/12).
Untuk sensor pada film ini, Naswardi menambahkan hal tersebut tetap dilakukan. Namun penyensoran disesuaikan dengan kondisi sekarang.
“Kalau kita sekarang dengan era baru berbasis digital, menilai dan meneliti film itu, karena konten materinya digital, jadi LSF hanya memberikan notasi kalau ada misalnya untuk klasifikasi usia 13 tahun ada materi adegan atau dialog yang tidak cocok dan tidak pas maka LSF memberikan koreksi, notasi yang memperbaiki itu. Jadi era sensor saat ini bukan lagi memotong tapi mengklasifikasikan,” paparnya.
Selain mendukung film Women From Rote Island, katanya, LSF juga tengah mensosialisasikan gerakan nasional budaya mandiri berupa klasifikasi usia tontonan kepada masyarakat. Apalagi jenis tontonan saat ini, baik film di bioskop, televisi maupun internet beragam.
“Jadi sekarang LSF menilai, meneliti melalui surat tanda lulus sensor klafikasi usia, kita juga harap meningkatkan literasi kualitas menonton masyarakat. Nah semua itu melalui program gerakan nasional budaya sensor mandiri, jadi itu mengklasifikasi usia penonton. Harapannya masyarakat yang menonton, apakah di bioskop, televisi atau internet, klasifikasi usia itu menjadi pedoman dan menjadi rujukan bagi masyarkat untuk mengakses tontonan yang baik,” urainya.
Disinggung bagaimana menggugah masyarakat untuk aware pada klasifikasi usia dalam menonton, Naswardi menyatakan pihaknya menyambangi pelbagai tempat yang dianggap pas.
“Kita selalu datang ke kampus, perguruan tinggi, sekolah atau komunitas dalam rangka itu, memasyarakatkan klasifikasi usia. Apakah untuk semua umur, 13 tahun ke atas, 17 tahun ke atas dan 21 tahun ke atas. Pedoman inilah yang kita masyarakatkan kepada penonton. Bahwa dalam menonton ada kaidah, nilai yang harus kita tegakan. Karena apa ? Karena film untuk dewasa pasti tidak cocok untuk anak-anak. Ada konten yang tidak pas, anak-anak kan sifatnya rentan meniru, imitatif. Jadi kepada orang dewasa kita ingatkan bahwa menonton ada kaidahnya yakni menonton sesuai usia tadi,” imbuh lelaki kelahiran 16 Juli 1983 itu. [foto/teks : denim]


Tinggalkan Balasan