Movie & TV
Jadi Tukang Sate, Aktor Eddie Karsito Tampil Apik di Film “Banyak Anak Banyak Rejeki”

FEM DEPOK – Tak semua aktor butuh sorotan utama untuk bersinar. Eddie Karsito, wartawan senior yang telah malang melintang di dunia jurnalistik dan seni peran, membuktikan bahwa peran kecil pun bisa meninggalkan jejak kuat. Dalam film terbaru “Banyak Anak Banyak Rejeki (yang Harus Dicari!)”, ia menjelma menjadi Cak Edi, seorang tukang sate Madura yang sederhana namun penuh karakter.
Film produksi Black White Pictures ini disutradarai oleh Tyas Asko dan diproduseri Fadli Fuad. Mengusung warna budaya lokal dengan nuansa khas Betawi dan semangat kenusantaraan, film ini menjadi panggung bagi Eddie untuk sekali lagi menunjukkan totalitasnya di dunia akting.
Ditemui di sela-sela syuting di Depok, Sabtu (5/7/2025), Eddie tampak akrab dengan kru dan pemain. Ia mengenakan kostum khas pedagang kaki lima, membawa pikulan sate, dan berbicara fasih dengan logat Madura yang ia kuasai tanpa pelatihan khusus.

“Ini bukan sekadar peran, tapi juga ruang silaturahmi. Dunia film adalah rumah kedua saya,” ujar Eddie dengan senyum tenang.
Meski hanya tampil dalam beberapa adegan, Eddie membuktikan bahwa durasi bukan ukuran kualitas. Ia dikenal kerap mendapat peran-peran singkat dalam film atau sinetron, hingga dijuluki sahabat-sahabatnya sebagai Mr. One Scene. Namun justru dalam kesederhanaan itu, Eddie bersinar. “Bagi saya, bukan soal banyaknya dialog. Yang penting, bisa menghidupkan karakter, tampil meyakinkan dan mengena di hati penonton,” ucapnya.
Ia menyebut aktor-aktor besar seperti Leonardo DiCaprio dalam The Revenant, Arnold Schwarzenegger di Terminator 2, hingga Henry Cavill di Batman v Superman—sebagai contoh bagaimana akting kuat tak selalu harus banyak bicara.

Tak ada yang instan dalam perjalanan Eddie. Pria asal Kisaran, Sumatera Utara ini pernah menjalani kerasnya hidup di ibu kota. Tidur di emperan toko, menjadi kuli panggul di Pasar Induk Kramat Jati, jadi kenek angkot, hingga berdagang bakso. Semua pengalaman hidup itu kini menjadi modal aktingnya.
“Saya nggak perlu observasi terlalu jauh untuk peran-peran rakyat kecil. Karena saya pernah hidup di titik itu. Saya kenal betul keras dan hangatnya kehidupan jalanan,” kenangnya.
Jejak Panjang dan Penghargaan
Karier akting Eddie sudah menapaki puluhan film dan ratusan judul sinetron. Ia tercatat pernah meraih penghargaan Pemeran Pembantu Pria Terpuji di Festival Film Bandung 2008 lewat film Maaf, Saya Menghamili Istri Anda, serta menjadi nomine FFI dan FFJ pada tahun-tahun sebelumnya.

Namanya juga melekat di beberapa sinetron berkarakter, seperti Rumah Eyang (RCTI, 2008), serial horor O’Seram (ANTV), hingga FTV Ujang Pantry yang membawanya masuk nominasi FFI 2006.
Tak hanya sebagai aktor, Eddie juga pernah menyutradarai film pendek di tengah pandemi dan terlibat produksi film di luar negeri, mulai dari Jepang hingga Australia.
Cinta Dua Dunia: Wartawan dan Aktor
Meski dua profesi yang dijalaninya terlihat kontras, Eddie memandang jurnalistik dan seni peran sebagai ladang aktualisasi diri yang sama-sama menuntut idealisme, kepekaan, dan empati.
“Keduanya adalah profesi yang terbuka, humanis, dan rahmatan lil’alamin. Dunia yang penuh warna dan cita rasa,” ujarnya, yang juga dikenal sebagai pendiri Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan.
Melalui film Banyak Anak Banyak Rejeki, Eddie Karsito sekali lagi membuktikan: tak ada peran kecil bagi mereka yang besar dalam totalitas.
Kuliner
Chef Juna dan Fine Tastes Hadirkan Keajaiban Cengkeh Manado di Film “A (C)love Story” dan Menu Eksklusif

FEM Indonesia, Jakarta – Sebuah kolaborasi unik antara dunia kuliner dan sinematografi resmi hadir lewat film pendek berdurasi lima menit berjudul “A (C)love Story”, yang mengangkat pesona cengkeh Manado sebagai rempah istimewa kebanggaan Indonesia.
Film ini merupakan persembahan dari A Fusion of Fine Tastes dan Mata Karanjang bekerja sama dengan Gastronusa, yang menampilkan narasi puitis, visual sinematik, serta dialog inspiratif dari dua chef ternama Chef Juna Rorimpandey dan Chef Jovan Koraag-Kambey. Keduanya membagikan kisah personal, sejarah, serta perjalanan panjang cengkeh Manado hingga menjadi elemen penting dalam karya kuliner modern mereka.
“A (C)love Story” dapat disaksikan secara eksklusif melalui kanal YouTube dan Instagram resmi Gastronusa, memberikan pengalaman audio-visual yang hangat dan mengundang rasa bangga terhadap kekayaan rempah Indonesia.
Dari Layar ke Meja: Menu Eksklusif Bertema Cengkeh
Tidak hanya menonton, publik juga diajak untuk mencicipi langsung pengalaman kuliner bertema cengkeh di restoran Mata Karanjang, yang berlokasi di Wijaya dan WTC Sudirman.
Selama Oktober hingga November 2025, restoran ini menyajikan deretan hidangan spesial yang terinspirasi dari film, seperti: Wagyu Ribs Cengkeh Broth sup iga wagyu dengan kaldu cengkeh yang aromatik dan menenangkan, Cengkeh Glazed Bluefin Tuna – tuna premium berpadu glasur manis pedas cengkeh, Smoked Pineapple Cengkeh Sorbet – pencuci mulut segar dengan aroma smokey dan rempah, Saraba Cengkeh Ginger Mocktail minuman hangat menyegarkan khas Indonesia Timur.
Pemutaran Perdana dan Diskusi Fine Tastes
Sebagai puncak perayaan, An Afternoon with Fine Tastes digelar pada 4 Oktober 2025 di Solo Ristorante, WTC 3 Sudirman. Acara ini menghadirkan pemutaran perdana film “A (C)love Story” serta sesi Insight Talk bersama para chef.
Dalam diskusi tersebut, Chef Juna menegaskan pentingnya mengangkat bahan-bahan terbaik dari Indonesia.
“Fine taste itu adalah ingredients terbaik Indonesia yang kita highlight siang ini: cengkeh Manado. Dengan keunikan dan kekhasannya, kita bisa menghadirkan berbagai karya yang extraordinary,” ujar Chef Juna.
Acara kemudian ditutup dengan makan siang multisensori, memadukan keindahan visual, rasa, dan aroma yang menggugah selera dalam satu pengalaman kuliner yang tak terlupakan.
Cengkeh Manado: Simbol Cinta dan Kebanggaan Nusantara
Melalui “A (C)love Story”, Chef Juna dan tim Fine Tastes ingin menunjukkan bahwa cengkeh bukan sekadar rempah, melainkan warisan budaya dan simbol cinta Indonesia terhadap kekayaan alamnya.
Penonton dan pecinta kuliner diajak untuk menyelami kisah rempah dari tanah Manado yang kini mendapatkan panggung modern dalam bentuk film, diskusi, dan hidangan eksklusif yang memanjakan seluruh indera.
Film “A (C)love Story” kini dapat disaksikan di kanal Gastronusa, sementara menu-menu eksklusifnya bisa dinikmati di Mata Karanjang Wijaya dan WTC Sudirman sepanjang Oktober hingga November 2025.
Movie & TV
“Jembatan Shiratal Mustaqim”, Film Epik Balasan Binasa Pelaku Korupsi di Akhirat

FEM Indonesia, Jakarta – Salah satu perubahan untuk memperbaiki diri lantaran terjerat kasus korupsi. Karena itu film Jembatan Shiratal Mustaqim dapat dijadikan sebagai media muhasabah bagi pelaku korupsi. Begitu harapan selebritas Angelina Sondakh, usai nonton bareng di salah satu bioskop di Jakarta Selatan belum lama ini.
“Mudah-mudahan film ini tervisualisasikan dengan baik dan sesungguhnya ketakutan atas Jembatan Shiratal Mustaqim inilah, yang membuat saya harus memperbaiki diri, mendekatkan diri pada agama dan alhamdulillah,” ujarnya.
Selain itu, fim buatan Dee Company yang disutradarai Bounty Umbara ini juga dapat membuka mata semua pihak agar tidak terjerat tindakan korupsi.
“Film ini harusnya membuka mata hati bukan hanya untuk pejabat tapi juga masyarakat luas. Korupsi mungkin memberi kesenangan sementara tapi pada akhirnya akan berbalik ke kita. Semoga pesan film ini bisa sampai ke seluruh pelosok negeri,” tambahnya.
Pasalnya, kata janda almarhum Adjie Massaid, jika terbukti melakukan korupsi maka waktu kebersamaan dengan orang-orang tercinta bakal hilang sehingga momen penting pun terlewat tanpa dapat diulang.
“Putusan saya 12 tahun penjara, salah satunya adalah menghukum atau memberikan hukuman yang tinggi agar ada efek jera dan Indonesia diharapkan bebas korupsi. Tapi 10 tahun saya menjalani masa pidana di dalam penjara, ada sedikit kesedihan, karena ternyata korupsi bukan makin sedikit namun malah makin banyak, makin masif dan threatnya itu luar biasa, seakan-akan masyarakat kita permisif aksi-aksi korupsi. Mungkin ketutup dengan hedon, dengan gaya hidup dan lupa bahwa nantinya akan ada Shiratal Mustaqim,” urainya.
Sementara produser Jembatan Shiratal Mustaqim, Dheeraj Kalwani mengatakan bila film tersebut bukan sekedar horor semata namun pula horor mengenai keadilan.
“Di dunia, koruptor bisa sembunyi di balik jabatan tapi di akhirat tidak ada lobi, tidak ada kompromi. Semua dosa akan terbuka,” terangnya.
Film yang menyajikan kisah tentang keadilan Tuhan atas perbuatan manusia, khususnya para koruptor yang selama hidupnya menumpuk kekayaan dengan merampas hak public ini tampil apik lantaran menvisualisasikan dengan CGI yang dikerjakan selama satu tahun penuh. Juga menggambarkan perjalanan para koruptor di Padang Mahsyar yang harus melewati Jembatan Shiratal Mustaqim dengan api neraka mengintai di bawahnya.
Hadir pula pemeran pendukung lain film yang siap tayang 9 Oktober 2025 ini antara lain Imelda Therrine, Agus Kuncoro, Raihan Khan, Mike Lucock, Rory Ashari dan Eduward Manalu. [foto : dokumentasi/teks : denim]
Movie & TV
Lembaga Sensor Film Ajak Mahasiswa UNAS Jakarta Lakukan Sensor Mandiri

FEM Indonesia, Jakarta – Komitmen Lembaga Sensor Film atau LSF untuk menggaungkan Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri (GN BSM) yakni gerakan memilah dan memilih tontonan sesuai dengan klasifikasi usia terus digenjot terutama pada kalangan mahasiswa melalui kampanye LSF Goes to Campus.
Terbaru, kampus Universitas Nasional Jakarta (UNAS) menjadi tujuan sosialiasi GN BSM. Di depan lebih kurang 1.200 mahasiswa baru, Ketua LSF RI, Dr. Naswardi, M.M, M.E mengatakan menyampaikan LSF untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk film dan iklan film yang saat ini sedang mengalami kenaikan produksi film secara signifikan.
“LSF berkomitmen untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk film dan iklan film yang ada di masyarakat. LSF juga konsisten melakukan sosialisasi tentang penggolongan usia yang dapat dijadikan panduan bagi penton film untuk memilih film yang akan ditonton sehingga menjadi tontonan yang aman dan berkualitas,” ujarnya.
Di tempat yang sama, Ketua Sub Komisi Sosialisasi LSF RI, Titin Setiawati, S.IP, M.IKom menyatakan masyarakat selayaknya mengetahui penggolongan usia sehingga menjadi pertimbangan dalam memilih film yang akan ditonton.
“Penggolongan usia film adalah hal yang harus diketahui oleh masyarakat untuk dijadikan panduan dalam menentukan film yang akan ditonton. Dengan mengikuti penggolongan usia yang telah ditetapkan oleh LSF, film yang akan ditonton akan menjadi film yang sesuai dengan penonton dan memiliki kontribusi positif sesuai dengan tingkat kedewasaan penonton,” terang mantan wartawan infotainmen ini.
Dalam LSF Goes to Campus tersebut hadir pula penulis scenario film Jangan Panggil Mama Kafir, Lina Nurmalina, sutradara film Yakin Nikah, Pritagita, pelakon Tubagus Ali dan Ben Jeffye serta pedangdut, Hari Putra. [foto : dokumentasi/teks : denim]
-
Movie & TV7 days ago
“Jembatan Shiratal Mustaqim”, Film Epik Balasan Binasa Pelaku Korupsi di Akhirat
-
NASIONAL7 days ago
Kemdiktisaintek Dorong Kolaborasi RSPTN Menuju Rumah Sakit Bertaraf Internasional
-
NASIONAL6 days ago
Depok Memanas, Sandy Bongkar Dugaan Pemerasan Eks Ketua LSM Kapok, Kasno Lapor Polisi
-
NASIONAL7 days ago
Hadiri Pengukuhan PWI Pusat 2025-2030, Ini Pesan Menkomdigi