FEM Indonesia, Jakarta — Tim penasihat hukum terdakwa Nurhadi, mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), menilai surat dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) sarat dengan asumsi dan berpotensi merusak prinsip dasar sistem peradilan pidana.

Penilaian tersebut disampaikan dalam sidang lanjutan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang digelar di Pengadilan Negeri, Jakarta Pusat, Senin (22/12/2025).

Dalam persidangan, kuasa hukum menyoroti konstruksi dakwaan yang mengaitkan sejumlah aliran dana dengan pengurusan perkara tanpa disertai pembuktian langsung. Menurut mereka, penarikan kesimpulan semacam itu berbahaya jika dijadikan dasar pemidanaan.

“Jika seseorang dapat dihukum hanya berdasarkan asumsi bahwa uang yang diterima berkaitan dengan pengurusan perkara, tanpa bukti faktual yang jelas, maka yang runtuh bukan hanya satu perkara, tetapi sistem hukum kita secara keseluruhan,” ujar penasihat hukum di hadapan majelis hakim.

Ia menegaskan, hukum pidana mensyaratkan alat bukti yang sah dan kuat, serta keterangan saksi yang didasarkan pada apa yang benar-benar dilihat, didengar, dan dialami sendiri. Kesaksian yang bersumber dari dugaan atau penafsiran, menurutnya, tidak dapat dijadikan dasar pemidanaan yang adil.

Tim penasihat hukum juga mempertanyakan relevansi keterangan seorang saksi bernama Adi. Mereka menilai saksi tersebut tidak mengetahui secara langsung tujuan pengiriman dana yang dipersoalkan dalam dakwaan.

“Jika sejak awal keterangan saksi tidak memenuhi syarat pembuktian, mengapa tetap dijadikan bagian dari konstruksi perkara? Ini yang kami persoalkan,” tegas kuasa hukum.

Sebelumnya, pihak terdakwa telah mengajukan eksepsi atau nota keberatan atas surat dakwaan JPU. Namun, majelis hakim memutuskan perkara tetap dilanjutkan ke tahap pemeriksaan pokok perkara. Menanggapi hal tersebut, tim kuasa hukum menyatakan akan membuktikan seluruh keberatan mereka melalui proses pembuktian di persidangan.

Tak hanya menyoal substansi dakwaan, penasihat hukum juga mengkritik prosedur pemeriksaan saksi yang dinilai tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara. Mereka menyoroti keterlambatan kehadiran saksi kunci serta mekanisme pemeriksaan saksi secara daring.

“Mahkamah Agung telah mengatur secara tegas bahwa pemeriksaan saksi secara online harus dilakukan dari kantor kejaksaan atau pengadilan. Prosedur ini seharusnya dipahami dan dipatuhi oleh penuntut umum,” ujar kuasa hukum.

Hingga sidang berlangsung, dua saksi yang dijadwalkan memberikan keterangan secara daring belum juga hadir. Pihak terdakwa menyayangkan kondisi tersebut karena dinilai menghambat kelancaran persidangan dan mengaburkan proses pembuktian.

Sidang akhirnya ditutup dengan penjadwalan ulang pemeriksaan saksi. Majelis hakim meminta seluruh pihak memastikan kehadiran saksi serta pelaksanaan persidangan berjalan sesuai ketentuan hukum acara pada sidang berikutnya.