FEM Indonesia – Kisah cinta tak selalu datang pada saat yang sempurna, dan film Cinta Tak Pernah Tepat Waktu membuktikan bahwa ketidaktepatan waktu bisa jadi luka yang sulit sembuh. Disutradarai Hanung Bramantyo dan tayang eksklusif di Vidio sejak 13 Juni 2025, film ini diadaptasi dari novel populer karya Puthut EA yang dikenal dengan narasi emosional dan reflektif.
Film Mengisahkan Daku Ramala (Refal Hady),seorang penulis yang bergulat dengan kehilangan arah dalam karier dan kehidupan cintanya, film ini menghadirkan realitas pahit yang sering dihindari: cinta yang tak siap menghadapi kenyataan. Hubungan Daku dengan Sekar (Nadya Arina) menjadi potret klasik pasangan muda urban yang terjebak antara perasaan dan ketakutan akan komitmen.
Kalimat “Kapan kita menikah?” menjadi pemantik krisis eksistensial bagi Daku. Ia mencintai Sekar, tapi belum siap melangkah ke fase berikutnya. Dalam dilema itu, film ini menawarkan cermin bagi banyak penonton yang berada di persimpangan serupa, menjadikan kisah ini bukan hanya tentang dua insan, tapi tentang kita semua.
Pencarian pelarian Daku melalui kedekatannya dengan Anya (Carissa Perusset) dan Sarah (Mira Filzah) justru memperjelas bahwa masalah utama bukan pada siapa yang ia cintai, melainkan pada dirinya sendiri. Ketidakmampuan menghadapi komitmen menjadi benang merah dari narasi yang terasa jujur, getir, namun menyentuh.
Refal Hady tampil prima membawa karakter Daku, dengan emosi yang natural dan dialog yang terasa personal. Didukung akting Nadya Arina yang kembali menunjukkan chemistry kuat dengan Refal setelah A Perfect Fit, dinamika keduanya menjadi salah satu daya tarik utama film ini.
Durasinya yang 1 jam 50 menit terasa pas untuk membangun atmosfer, mendalami karakter, dan memberi ruang bagi penonton untuk ikut tenggelam dalam pergulatan batin para tokohnya. Ini bukan sekadar film romantis, tetapi juga meditasi tentang keberanian dan waktu yang kerap tak berpihak.
Karya ini juga mengangkat tema universal: apakah cinta selalu membutuhkan kesiapan, atau justru keberanian untuk melangkah dalam ketidaksiapan? Hanung Bramantyosebagai sutradara sukses menjadikan film ini sebagai refleksi sosial dan emosional generasi masa kini.
Dengan latar musik yang melankolis dan sinematografi yang intim, Cinta Tak Pernah Tepat Waktu bukan hanya menyentuh, tetapi juga mengajak kita untuk melihat ulang pilihan-pilihan dalam hidup dan cinta. [artwork dok. vidio]


Tinggalkan Balasan