Connect with us

Movie & TV

Film “Pengepungan di Bukit Duri, Membuka Mata Situasi Indonesia Saat Ini

Published

on

FEM Indonesia, Jakarta — Karya terbaru penulis dan sutradara Joko Anwar, dari produser Tia Hasibuan yang menjadi ko-produksi internasional Come and See Pictures bersama Amazon MGM Studios, afalam film berjudul “Pengepungan di Bukit Duri” (The Siege at Thorn High).

Sebuah film drama-thriller yang akan memberikan ketegangan intens, digambarkan dengan situasi yang terjadi di Indonesia pada 2027. Di film ini, Joko Anwar bertindak sebagai produser film bersama Tia Hasibuan. Joko Anwar juga menjadi penyunting gambar di film ke-11 nya ini. 

Melalui film “Pengepungan di Bukit Duri” Joko Anwar merespons situasi terkini Indonesia yang amat relevan tentang isu kekerasan dan urgensi pembenahan pendidikan Indonesia, menyangkut masa depan remaja Indonesia yang terjebak dalam situasi terpuruk.

Dikemas dengan genre drama-thriller, Joko Anwar memberikan intensitas ketegangan dari awal hingga akhir secara konsisten. Dengan berani, “Pengepungan di Bukit Duri” menggambarkan situasi yang mungkin saja akan terjadi pada tahun 2027, jika kita semua tak bersuara untuk melakukan pembenahan. Kekerasan-kekerasan yang terjadi, direpresentasikan dalam aksi laga yang mengancam nyawa di dunia sekolah. 

Lewat latar yang dibangun oleh Dennis Susanto, dengan sinematografi yang diramu oleh kolaborator lama Joko Anwar, Jaisal Tanjung, serta musik yang digubah oleh Aghi Narottama, menjadikan dunia di “Pengepungan di Bukit Duri” layaknya sebuah negara yang salah urus.

“Pengepungan di Bukit Duri” sekaligus menjadi potret diri bagi bangsa ini, namun juga pengingat untuk terus bercermin. Menjadikan “Pengepungan di Bukit Duri” sebagai film yang membawa isu yang sangat urgen dan penting untuk ditonton, agar mata kita terbuka sehingga bisa mulai berpikir dan tercerahkan. “Pengepungan di Bukit Duri” mengajak penonton untuk membuka pikiran kita tentang kekerasan, yang bisa dibicarakan dengan secara terbuka.

“Film ini bukan tentang masa lalu, tapi tentang apa yang terjadi ketika kita pura-pura lupa.” kata Joko Anwar, “Kadang, yang paling menakutkan bukan kekerasan itu sendiri, tapi sistem yang membiarkannya tumbuh. Kami menghadirkan film ini dengan standar produksi tertinggi, karena cerita seperti ini layak disampaikan dengan sepenuh kualitas.” kata Tia Hasibuan.

“Kami memiliki komitmen yang kuat terhadap perilisan film di bioskop dan bagi kami, “Pengepungan di Bukit Duri” adalah wujud nyata dari sebuah film yang berani dan pantas untuk ditonton banyak orang di layar lebar,” tambah Darin Darakananda, Head of Central Scripted Series & Movies International Originals at Amazon MGM Studios.

“Kami bangga mendukung sutradara visioner seperti Joko Anwar dalam menghadirkan pengalaman tak terlupakan yang patut mendapatkan momentum perilisan layar lebar. “Pengepungan di Bukit Duri” mengangkat narasi yang bisa memantik diskusi bermakna di antara penonton Indonesia dan kami sangat senang melihat film ini mendapatkan semua pujian dan antusiasme yang memang layak didapatkan,” lanjutnya.

“Pengepungan di Bukit Duri” bercerita mengikuti kisah Edwin (Morgan Oey). Sebelum kakaknya meninggal, Edwin berjanji untuk menemukan anak kakaknya yang hilang. Pencarian Edwin membawanya menjadi guru di SMA Duri, sekolah untuk anak-anak bermasalah. Di sana, Edwin harus berhadapan dengan murid-murid paling beringas sambil mencari keponakannya. Ketuka akhirnya ia menemukan anak kakaknya, kerusuhan pecah di seluruh kota dan mereka terjebak di sekolah, melawan anak-anak brutal yang kini mengincar nyawa mereka.

Morgan Oey, yang memerankan Edwin mengungkapkan melalui film ini ia berharap penonton dan masyarakat Indonesia dapat menjadikan film ini sebagai medium untuk terapi. Isu-isu tentang kekerasan dan trauma di masa lampau, dapat dibicarakan dengan lebih terang.

“Selain membahas tentang ketidaksejahteraan profesi guru dan kekerasan remaja, film “Pengepungan di Bukit Duri” juga membahas tentang dampak dari diskriminasi yang terjadi, yang di film ini dialami oleh Edwin. Selama ini, kita dan bahkan negara tidak pernah acknowledge tentang dampak diskriminasi dan trauma yang dialami. Lewat peran ini, saya merasa ini juga menjadi bagian dari proses terapi. Isu dan permasalahan yang ada di film ini, akan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Diskriminasi bukan saja rasial, tetapi juga adanya ketidakadilan sosial yang terjadi. Semoga film ini bisa menjadi pembuka banyak ruang diskusi dan bisa acknowledge satu sama lain,” kata Morgan Oey pemeran Edwin.

Film ini adalah produksi bersama studio Hollywood Amazon MGM Studios dan Come and See Pictures, yang menjadi kolaborasi pertama antara rumah produksi Indonesia dengan studio legendaris Hollywood tersebut. 

Film yang tayang di jaringan bioskop Indonesia pada 17 April 2025 dibintangi oleh Morgan Oey, Omara Esteghlal, Hana Pitrashata Malasan, Endy Arfian, Fatih Unru, Satine Zaneta, Dewa Dayana, Florian Rutters, Faris Fadjar Munggaran, Sandy Pradana, Raihan Khan, Farandika, Millo Taslim, Sheila Kusnadi, Shindy Huang, KikiNarendra, Lia Lukman, Emir Mahira, Bima Azriel, Natalius Chendana, dan Landung Simatupang.

Kuliner

Chef Juna dan Fine Tastes Hadirkan Keajaiban Cengkeh Manado di Film “A (C)love Story” dan Menu Eksklusif

Published

on

FEM Indonesia, Jakarta – Sebuah kolaborasi unik antara dunia kuliner dan sinematografi resmi hadir lewat film pendek berdurasi lima menit berjudul “A (C)love Story”, yang mengangkat pesona cengkeh Manado sebagai rempah istimewa kebanggaan Indonesia.

Film ini merupakan persembahan dari A Fusion of Fine Tastes dan Mata Karanjang bekerja sama dengan Gastronusa, yang menampilkan narasi puitis, visual sinematik, serta dialog inspiratif dari dua chef ternama Chef Juna Rorimpandey dan Chef Jovan Koraag-Kambey. Keduanya membagikan kisah personal, sejarah, serta perjalanan panjang cengkeh Manado hingga menjadi elemen penting dalam karya kuliner modern mereka.

“A (C)love Story” dapat disaksikan secara eksklusif melalui kanal YouTube dan Instagram resmi Gastronusa, memberikan pengalaman audio-visual yang hangat dan mengundang rasa bangga terhadap kekayaan rempah Indonesia.

Dari Layar ke Meja: Menu Eksklusif Bertema Cengkeh

Tidak hanya menonton, publik juga diajak untuk mencicipi langsung pengalaman kuliner bertema cengkeh di restoran Mata Karanjang, yang berlokasi di Wijaya dan WTC Sudirman.

Selama Oktober hingga November 2025, restoran ini menyajikan deretan hidangan spesial yang terinspirasi dari film, seperti: Wagyu Ribs Cengkeh Broth sup iga wagyu dengan kaldu cengkeh yang aromatik dan menenangkan, Cengkeh Glazed Bluefin Tuna – tuna premium berpadu glasur manis pedas cengkeh, Smoked Pineapple Cengkeh Sorbet – pencuci mulut segar dengan aroma smokey dan rempah, Saraba Cengkeh Ginger Mocktail  minuman hangat menyegarkan khas Indonesia Timur.

Pemutaran Perdana dan Diskusi Fine Tastes

Sebagai puncak perayaan, An Afternoon with Fine Tastes digelar pada 4 Oktober 2025 di Solo Ristorante, WTC 3 Sudirman. Acara ini menghadirkan pemutaran perdana film “A (C)love Story” serta sesi Insight Talk bersama para chef.

Dalam diskusi tersebut, Chef Juna menegaskan pentingnya mengangkat bahan-bahan terbaik dari Indonesia.

“Fine taste itu adalah ingredients terbaik Indonesia yang kita highlight siang ini: cengkeh Manado. Dengan keunikan dan kekhasannya, kita bisa menghadirkan berbagai karya yang extraordinary,” ujar Chef Juna.

Acara kemudian ditutup dengan makan siang multisensori, memadukan keindahan visual, rasa, dan aroma yang menggugah selera dalam satu pengalaman kuliner yang tak terlupakan.

Cengkeh Manado: Simbol Cinta dan Kebanggaan Nusantara

Melalui “A (C)love Story”, Chef Juna dan tim Fine Tastes ingin menunjukkan bahwa cengkeh bukan sekadar rempah, melainkan warisan budaya dan simbol cinta Indonesia terhadap kekayaan alamnya.

Penonton dan pecinta kuliner diajak untuk menyelami kisah rempah dari tanah Manado yang kini mendapatkan panggung modern dalam bentuk film, diskusi, dan hidangan eksklusif yang memanjakan seluruh indera.

Film “A (C)love Story” kini dapat disaksikan di kanal Gastronusa, sementara menu-menu eksklusifnya bisa dinikmati di Mata Karanjang Wijaya dan WTC Sudirman sepanjang Oktober hingga November 2025.

Continue Reading

Movie & TV

“Jembatan Shiratal Mustaqim”, Film Epik Balasan Binasa Pelaku Korupsi di Akhirat

Published

on

FEM Indonesia, Jakarta – Salah satu perubahan untuk memperbaiki diri lantaran terjerat kasus korupsi. Karena itu film Jembatan Shiratal Mustaqim dapat dijadikan sebagai media muhasabah bagi pelaku korupsi. Begitu harapan selebritas Angelina Sondakh, usai nonton bareng di salah satu bioskop di Jakarta Selatan belum lama ini.

“Mudah-mudahan film ini tervisualisasikan dengan baik dan sesungguhnya ketakutan atas Jembatan Shiratal Mustaqim inilah, yang membuat saya harus memperbaiki diri, mendekatkan diri pada agama dan alhamdulillah,” ujarnya.

Selain itu, fim buatan Dee Company yang disutradarai Bounty Umbara ini juga dapat membuka mata semua pihak agar tidak terjerat tindakan korupsi.

“Film ini harusnya membuka mata hati bukan hanya untuk pejabat tapi juga masyarakat luas. Korupsi mungkin memberi kesenangan sementara tapi pada akhirnya akan berbalik ke kita. Semoga pesan film ini bisa sampai ke seluruh pelosok negeri,” tambahnya.

Pasalnya, kata janda almarhum Adjie Massaid, jika terbukti melakukan korupsi maka waktu kebersamaan dengan orang-orang tercinta bakal hilang sehingga momen penting pun terlewat tanpa dapat diulang.

“Putusan saya 12 tahun penjara, salah satunya adalah menghukum atau memberikan hukuman yang tinggi agar ada efek jera dan Indonesia diharapkan bebas korupsi. Tapi 10 tahun saya menjalani masa pidana di dalam penjara, ada sedikit kesedihan, karena ternyata korupsi bukan makin sedikit namun malah makin banyak, makin masif dan threatnya itu luar biasa, seakan-akan masyarakat kita permisif aksi-aksi korupsi. Mungkin ketutup dengan hedon, dengan gaya hidup dan lupa bahwa nantinya akan ada Shiratal Mustaqim,” urainya.

Sementara produser Jembatan Shiratal Mustaqim, Dheeraj Kalwani mengatakan bila film tersebut bukan sekedar horor semata namun pula horor mengenai keadilan.

“Di dunia, koruptor bisa sembunyi di balik jabatan tapi di akhirat tidak ada lobi, tidak ada kompromi. Semua dosa akan terbuka,” terangnya.

Film yang menyajikan kisah tentang keadilan Tuhan atas perbuatan manusia, khususnya para koruptor yang selama hidupnya menumpuk kekayaan dengan merampas hak public ini tampil apik lantaran menvisualisasikan dengan CGI yang dikerjakan selama satu tahun penuh. Juga menggambarkan perjalanan para koruptor di Padang Mahsyar yang harus melewati Jembatan Shiratal Mustaqim dengan api neraka mengintai di bawahnya.

Hadir pula pemeran pendukung lain film yang siap tayang 9 Oktober 2025 ini antara lain Imelda Therrine, Agus Kuncoro, Raihan Khan, Mike Lucock, Rory Ashari dan Eduward Manalu. [foto : dokumentasi/teks : denim]

Continue Reading

Movie & TV

Lembaga Sensor Film Ajak Mahasiswa UNAS Jakarta Lakukan Sensor Mandiri

Published

on

FEM Indonesia, Jakarta – Komitmen Lembaga Sensor Film atau LSF untuk menggaungkan Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri (GN BSM) yakni gerakan memilah dan memilih tontonan sesuai dengan klasifikasi usia terus digenjot terutama pada kalangan mahasiswa melalui kampanye LSF Goes to Campus.

Terbaru, kampus Universitas Nasional Jakarta (UNAS) menjadi tujuan sosialiasi GN BSM. Di depan lebih kurang 1.200 mahasiswa baru,  Ketua LSF RI, Dr. Naswardi, M.M, M.E mengatakan menyampaikan LSF untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk film dan iklan film yang saat ini sedang mengalami kenaikan produksi film secara signifikan.

“LSF berkomitmen untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk film dan iklan film yang ada di masyarakat. LSF juga konsisten melakukan sosialisasi tentang penggolongan usia yang dapat dijadikan panduan bagi penton film untuk memilih film yang akan ditonton sehingga menjadi tontonan yang aman dan berkualitas,” ujarnya.

Di tempat yang sama, Ketua Sub Komisi Sosialisasi LSF RI, Titin Setiawati, S.IP, M.IKom menyatakan masyarakat selayaknya mengetahui penggolongan usia sehingga menjadi pertimbangan dalam memilih film yang akan ditonton.

“Penggolongan usia film adalah hal yang harus diketahui oleh masyarakat untuk dijadikan panduan dalam menentukan film yang akan ditonton. Dengan mengikuti penggolongan usia yang telah ditetapkan oleh LSF, film yang akan ditonton akan menjadi film yang sesuai dengan penonton dan memiliki kontribusi positif sesuai dengan tingkat kedewasaan penonton,” terang mantan wartawan infotainmen ini.

Dalam LSF Goes to Campus tersebut hadir pula penulis scenario film Jangan Panggil Mama Kafir, Lina Nurmalina, sutradara film Yakin Nikah, Pritagita, pelakon Tubagus Ali dan Ben Jeffye serta pedangdut, Hari Putra. [foto : dokumentasi/teks : denim]

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Trending