Connect with us

Sosial Budaya

Tampil Sukses di Pantai Piwang Natuna, Delon Ingin Kembali Lagi

Published

on

FEM Indonesia – Penyanyi Delon, dalam setiap aksi panggungnya selalu mendokumentasikan secara wefie bersama penonton. Begitupun saat Delon tampil pada malam ramah tamah dan hiburan rakyat di alun-alun Pantai Piwang Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, akhir pekan lalu.

Menurut penyanyi jebolan Indonesian Idol musim pertama itu, dirinya malah merasa dejavu dan spechless. Padahal konsernya sukses berat.

“Asli, seru banget tampil di Pantai Piwang acara ramah tamah dan hiburan rakyat. Saking serunya aku mengabadilan foto wefie dengan para penonton malam itu, pakai HP kamera aku, walaupun hasilnya kurang maksimal,” ungkap Delon.

Menurut suami dari Aida Chandra ini mengatakan bahwa malam tersebut, ia membawakan lagu-lagu miliknya yang hits di masyarakat. Awalnya nyanyi di atas panggung, namun setelah lagu terakhir, delon turun dari panggung untuk merapat ke arah penonton.

Kegiatan kata Delon, merupakan bagian dalam rangka memeriahkan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia tingkat Provinsi Kepri. Kehadiran pelantun single “Sekarang Nanti dan Selamanya” itu pun membawa suasa istimewa.

Malam ramah tamah bersama itu dihadiri oleh sejumlah pejabat Pemerintah Provinsi Kepri, Pejabat Pemerintah Daerah Natuna, para Anggota DPRD Natuna, Forkompinda, tokoh Agama dan masyarakat.

“Aku mengapresiasikan, atas keterlibatan masyarakat Natuna yang ikut mensukseskan penyelenggaraan HUT Kemerdekaaan provinsi di Kabupaten Natuna ini. Semoga aku bisa datang kembali,” tandas Delon.

NASIONAL

Program RLHB, BAZNAS Janjikan Renovasi 25 Rumah di Bali

Published

on

FEM Indonesia Taiwan – Keberadaan program pemberdayaan masyarakat Badan Amil Zakat Nasional Republik Indonesia (BAZNAS RI) menjadi solusi problematika sosial dan ekonomi yang dihadapi warga. 

Antara lain akan merealisasikan bantuan renovasi untuk 25 unit rumah mustahik di provinsi Bali melalui program Rumah Layak Huni BAZNAS (RLHB). 

“Bantuan 25 unit RLHB sedang dalam proses, sedang disiapkan,” ujar Ketua BAZNAS Provinsi Bali, Yunus Niam kepada wartawan dalam kegiatan media visit BAZNAS Media Center (BMC) ke kantor BAZNAS Provinsi Bali di Kota Denpasar, Bali, baru-baru ini. 

Menurutnya, untuk RTLH, tim BAZNAS Tanggap Bencana (BTB) Provinsi Bali menggelar visitasi dan verifikasi lapangan ke rumah para calon penerima bantuan renovasi di Kabupaten Karangasem, Jumat (25/10/2024) lalu.

BAZNAS Provinsi Bali juga mulai bersiap untuk menjalankan program Rumah Layak Huni BAZNAS (RLHB) di Pulau Dewata. Yunus mengatakan, BAZNAS Bali mengusung tagline “Inklusif dalam Berbagi Bersama Membangun Negeri”. 

“Di tahun 2024 bantuan rumah layak huni ada 25-an, sedang berjalan, sedang disiapkan. Kalau tahun sebelumnya ada 11, alhamdulillah naik, ada peningkatan,” ujar Yunus. 

Dia menjelaskan, masih banyak rumah yang tidak layak huni di Provinsi Bali. Karena itu, pihaknya berkolaborasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk menjalankan program ini.  “Menurut data dari PUPR, ada 55 ribu rumah yang tidak layak huni di Bali,” ucap Yunus. 

Karena itu, dia berharap, tahun depan bisa lebih banyak lagi rumah keluarga tidak mampu yang bisa direnovasi. Tentu hal ini juga perlu dukungan penuh dari masyarakat dan pemerintah daerah.  “Tahun depan kami berharap lebih banyak dari itulah. Mungkin kalau bisa 50, insya Allah itu akan kita laksanakan,” ucap alumni LIPIA Jakarta ini. 

Ia menambahkan, rumah yang akan direnovasi tersebut tersebar di beberapa daerah di Bali, seperti di Kabupaten Buleleng, Karangasem, dan Klungkung. Dalam melakukan renovasi, pihaknya menggelontorkan dana sebanyak Rp 25 juta untuk masing-masing rumah. “Rumah yang paling banyak direnovasi itu di Buleleng. Kami bantu 25 juta rupiah per unit rumah. Itu sudah bisa untuk merehab atap, lantai, atau dinding,” kata Yunus. 

Sebagai informasi, melalui fasilitasi dari Sestama BAZNAS RI, Dr. Muchlis Muhammad Hanafi, wartawan yang tergabung dalam BAZNAS Media Center (BMC), mendapat kesempatan meliput program BAZNAS di Pulau Dewata. 

Ini merupakan bagian dari kegiatan Media Visit BMC 2024, untuk wilayah Indonesia barat, dalam hal ini Provinsi Sumbar, yang berlangsung Kamis-Sabtu (26-28/8/2024). Kemudian, untuk Indonesia timur adalah Provinsi Maluku pada Senin-Rabu (26-28/8/2024) dan Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu-Jumat (30 Oktober-1 November 2024).  

Selain mengajak serta partisipasi publikasi media oleh BAZNAS setempat, kunjungan para pewarta ini, mereportase sejumlah program BAZNAS di Provinsi Bali dan Kota Denpasar. 

Seperti kantor digital, ZMart, layanan muzaki, bantuan mustahik untuk rumah tidak layak huni (RTLH), bantuan untuk majelis taklim, bantuan untuk korban kebakaran, dan sebagainya.

Continue Reading

Sosial Budaya

Geram, Ketua PWI Depok Menilai KPUD Depok Minim Sosialisasi Pilkada 2024

Published

on

FEM Indonesia Taiwan – Aparat Penegak Hukum (APH), diminta kawal anggaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Depok, senilai Rp 73 miliar, yang di gunakan untuk Pilkada Depok 2024, pada 27 November mendatang.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Depok, Rusdy Nurdiansyah.

“Sebab, kendati kampanye telah memasuki fase krusial, sosialisasi dari KPU di media massa hampir tidak terlihat. Kondisi ini memicu reaksi keras dari kalangan wartawan yang mempertanyakan penggunaan anggaran besar untuk sosialisasi Pilkada, yang mencapai Rp 73 miliar,” ujar Rusdy Nurdiansyah, Selasa (8/10/2024).

Ia juga menyebutkan, dinilai lemahnya upaya KPU dalam menggerakkan sosialisasi. Kendati, KPU menargetkan partisipasi pemilih naik dari 60% menjadi 80%, upaya sosialisasi yang dilakukan sangat minim, terutama di media lokal yang seharusnya menjadi garda terdepan.

“Artinya, sosialisasi Pilkada Depok nyaris tidak terlihat, padahal anggaran yang disiapkan mencapai Rp 73 miliar. Itu uang rakyat, seharusnya dipergunakan dengan maksimal untuk memberikan informasi kepada masyarakat,” ucap Rusdy.

Dijelaskannya, bahwa diduga adanya monopoli media yang dilakukan KPU dalam sosialisasi Pilkada. Selain itu, KPU hanya bekerja sama dengan satu media tertentu, mengabaikan media lainnya. Padahal, keberagaman media sangat penting agar informasi Pilkada bisa tersebar luas dan merata.

“Jadi, sosialisasi tidak bisa hanya mengandalkan satu media saja, apalagi kalau media itu punya afiliasi politik. Itu sudah melanggar prinsip netralitas KPU. Semua media harus mendapatkan bagian anggaran sosialisasi secara merata,” jelas Rusdy.

Rusdy mengingatkan, bahwa jika terbukti ada monopoli media atau penyalahgunaan anggaran, KPU Depok bisa terjerat tindak pidana. Ini bukan hanya soal teknis, tetapi juga menyangkut integritas dan kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu.

Selain dugaan monopoli media, juga kurangnya kolaborasi antara KPU dengan Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kota Depok. Karena, sosialisasi Pilkada bukan hanya melalui media massa, tapi juga melalui baliho, banner, dan media luar ruang lainnya.

“Namun sayangnya, tanda-tanda sosialisasi dari KPU tidak tampak di jalan-jalan utama Kota Depok. Seharusnya KPU dan Diskominfo bekerja sama untuk memperluas jangkauan sosialisasi. Tapi yang terlihat sekarang hanya poster-poster calon, bukan informasi dari KPU terkait Pilkada,” imbuh Rusdy.

Ia juga mempertanyakan proses lelang e-katalog yang digunakan KPU dalam memilih media untuk bekerja sama. Menurutnya, proses ini tidak transparan dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. “Lelang e-katalog harus dilakukan secara terbuka. Semua media lokal di Depok berhak mendapatkan kesempatan yang sama,” tukas Rusdy.

Ia mengingatkan, bahwa jika ada media yang dipilih oleh KPU namun memiliki afiliasi dengan salah satu pasangan calon, hal ini dapat memicu pelanggaran netralitas KPU. Hal tersebut akan merusak integritas dan independensi penyelenggara pemilu.

“Artinya, dengan sosialisasi yang efektif tidak bisa hanya mengandalkan satu kanal informasi. Semua media harus dilibatkan, mulai dari cetak, online, sampai luar ruang. Sosialisasi juga bukan cuma sekadar acara formal di hotel, tapi harus menyentuh masyarakat secara langsung,” imbuh pemegang Kartu Pers Utama atau Kartu Pers Number One (PCNO), dari Presiden RI itu.

Continue Reading

Sosial Budaya

Riset 5 Tahun, Novel “Kabut Tanah Tembakau” Mengungkap Misteri, Sejarah dan Intrik di Tanah Deli

Published

on

FEM Indonesia Taiwan –  “Kabut Tanah Tembakau”, sebiaj karya sastra dengan latar sejarah perkebunan tembakau Deli yang sarat misteri dan intrik telah hadir di tengah masyarakat.

Novel ini adalah karya bertangan dini dari wartawan senior Poskota, Rizal Siregar, yang diterbitkan pada Oktober 2024 oleh Penerbit Adab. 

Novel mengemas kisah yang menggabungkan sejarah, budaya, dan mitos, membentangkan jalan cerita yang melintasi tiga era waktu: masa kolonial, masa kini, dan masa depan. Dengan setebal 259 halaman ini terbit dalam format fisik dan digital, lengkap dengan ISBN 978-623-505-394-3 dan E-ISBN 978-623-505-393-6 untuk versi PDF. 

Dalam novel ini, Rizal Siregar, mencoba menghidupkan kembali sejarah perkebunan tembakau Deli, sebuah daerah yang terkenal pada abad ke-19 sebagai pusat tembakau kelas dunia, di mana banyak kuli kontrak dari berbagai daerah dipekerjakan dengan kondisi kerja yang keras.

Proses Kreatif yang Panjang

Rizal Siregar mengungkapkan bahwa novel ini membutuhkan riset mendalam selama lebih dari lima tahun, terutama di wilayah Seantis, Percut Sei Tuan, Sumatera Utara, tempat perkebunan tembakau Deli pernah berjaya. “Novel ini lama saya siapkan. Mulai dari riset ke bangsal tembakau sampai bangsal itu sudah tidak ada lagi, baru novel ini bisa diterbitkan,” beber Rizal. 

Novel tidak hanya menghadirkan kisah tentang kuli kontrak dan perkebunan tembakau, tetapi juga mengeksplorasi perjalanan seorang wanita muda bernama Marlina yang mencari jejak leluhurnya di Tanah Deli. Marlina, sebagai karakter utama, menemukan dirinya terjebak dalam perpaduan antara kenyataan dan dunia mitos, di mana ia berinteraksi dengan sosok-sosok dari alam bunian, makhluk gaib dalam legenda Melayu. 

Perjalanan Lintas Masa dan Intrik Cinta

“Kabut Tanah Tembakau” bukanlah sekadar novel sejarah, tetapi juga membahas tema universal seperti cinta, kekuasaan, dan ambisi. Rizal dengan cermat merangkai cerita yang terjadi dalam tiga dimensi waktu: masa kini, era kolonial pada tahun 1890-an, dan masa depan. Marlina, seorang putri tunggal dari keluarga pengusaha sukses, menemukan dirinya tertarik ke masa lalu melalui petualangannya di Medan, tempat sejarah leluhurnya sebagai kuli kontrak di Tanah Deli terungkap.

Setibanya di Medan, Marlina mulai menyaksikan kejadian-kejadian dari masa kolonial, di mana tembakau Deli menjadi primadona perdagangan dunia. Kilasan sejarah yang ditampilkan Rizal, seperti potongan film yang muncul di hadapan Marlina, membawanya kembali ke masa di mana kuli-kuli kontrak hidup di bawah pengawasan ketat para mandor Belanda. Riset yang mendalam ini menghidupkan kembali suasana perkebunan tembakau yang pernah berjaya, dengan detail yang memperlihatkan kehidupan keras para kuli kontrak di tengah keserakahan dan intrik para penguasa kolonial.

Marlina bukanlah sekadar penonton sejarah. Dalam petualangannya, ia dibantu oleh Hamzah, seorang pemuda Melayu yang kemudian jatuh cinta padanya. Namun, kisah cinta ini bukanlah satu-satunya yang menjadi sorotan dalam novel ini. Di alam bunian, seorang pangeran juga jatuh cinta pada Marlina dan berusaha menjadikannya permaisuri. Pertarungan antara dua dunia untuk merebut hati Marlina menjadi salah satu konflik utama yang menghiasi cerita ini.

Budaya Melayu yang Mulai Memudar

Selain menyoroti sejarah dan kisah cinta, Rizal juga memasukkan unsur budaya Melayu Deli yang kaya akan adat istiadat, kuliner, dan petuah-petuah leluhur. Melalui cerita Marlina, pembaca diajak untuk merenungkan bagaimana simbol-simbol budaya tersebut mulai memudar di era modern. Rizal menyampaikan kekhawatirannya tentang hilangnya warisan budaya lokal di tengah arus globalisasi.

Novel ini bukan hanya menggambarkan perjalanan Marlina dalam mencari jejak leluhurnya, tetapi juga merangkum berbagai persoalan sosial, politik, dan ekonomi. Dalam novel ini, Rizal mengangkat tema tentang kerakusan harta, cinta yang membara, intrik politik, hingga pertarungan kekuasaan yang berkaitan dengan dinamika pilkada di masa depan. Hal ini menjadikan “Kabut Tanah Tembakau” lebih dari sekadar novel roman, tetapi juga karya yang menggugah kesadaran pembaca akan kompleksitas kehidupan.

Sejarah Perkebunan Tembakau Deli: Dari Kejayaan hingga Kemunduran

Sebagai latar belakang penting dalam novel ini, perkebunan tembakau Deli memainkan peran sentral dalam menggambarkan sejarah kolonial di Sumatera Utara. Pada akhir abad ke-19, tembakau Deli terkenal sebagai salah satu komoditas terbaik di dunia, terutama untuk bahan cerutu. Perkebunan ini dikelola oleh perusahaan-perusahaan Belanda yang mendatangkan kuli-kuli kontrak dari Tiongkok, India, dan Jawa untuk bekerja di bawah kondisi yang sangat keras.

“Bahkan Sarni, Nenek Marlina, yang wajahnya sangat mirip  sempat di bawa ke Surinme dalam pelariannya karena membunuh mandor di Perkebunan Tembakau Deli,” ucap Rizal.

Para kuli kontrak ini diikat dengan perjanjian yang memaksa mereka bekerja selama periode tertentu dengan upah rendah, di tengah pengawasan ketat dan perlakuan yang sering kali tidak manusiawi. Kondisi ini menimbulkan berbagai pemberontakan dan konflik antara kuli dan para pengelola perkebunan, yang sebagian besar direfleksikan dalam kisah Marlina saat ia menyaksikan perjuangan leluhurnya melawan penindasan di masa lalu.

Perkebunan tembakau Deli terus berkembang hingga awal abad ke-20, namun seiring berjalannya waktu, industri ini mengalami kemunduran. Kemajuan teknologi dan perubahan sosial-ekonomi di Indonesia pasca-kemerdekaan, serta meningkatnya persaingan dari negara lain, menyebabkan kejayaan tembakau Deli perlahan-lahan memudar. Bangsal tempat menjemur tembakau, seperti yang diungkapkan Rizal dalam risetnya, kini hanya tinggal puing-puing sejarah.

“Kabut Tanah Tembakau” menawarkan lebih dari sekadar cerita fiksi yang memikat. Ia menggambarkan sejarah yang kaya, konflik yang kompleks, dan budaya yang hampir terlupakan. Dalam setiap lembarannya, Rizal Siregar tidak hanya mengajak pembaca untuk mengarungi perjalanan emosional Marlina, tetapi juga untuk merenungkan kembali sejarah dan warisan budaya yang membentuk identitas masyarakat Deli. 

Melalui novel ini, Rizal berharap generasi muda, terutama generasi G-Z, dapat belajar dari masa lalu dan terinspirasi untuk menjaga nilai-nilai budaya yang semakin tergerus oleh waktu.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Trending